Golo Mbeliling.


bike to pulau


 LEMBOR - LABUAN BAJO
6 Des 2017. 


Setelah menjalani 10 etappe, hari ini adalah hari terakhir saya akan berada di atas sepeda. Tak terasa lagi bayangan berat yang akan menghadang, hanya rasa takjub yang saya rasakan dalam mengarungi pulau nan indah ini, dari Larantuka hingga Labuan Bajo yang akan segera menjelang.

Segala cobaan dan tantangan terutama fisik berhasil dilalui. Bertemu  dan berinteraksi dengan masyarakat adalah sebuah pengalaman yang berharga. Masyarakat yang terbuka, keramahtamahan yang tulus dan ringan tangan, menjadi nilai lebih dari perjalanan di pulau ini. 

Penunjuk jarak tempuh yang terpasang di sepeda sudah menunjukan angka 653 km, kurang lebih 50 km lagi saya akan mencapai target yang dituju. Setelah menuntaskan kopi dan sebungkus roti yang disediakan pihak penginapan di pos keamanan, sepeda saya kayuh perlahan meninggalkan Lembor. Udara terasa sejuk karena masih berada di wilayah pegunungan. 

Jalan yang lurus mendatar dengan pemandangan sawah yang menghampar luas, dibatasi gunung-gunung dibatas horison mengantar saya ke tujuan akhir. Sebagian sawah tampak sedang di panen, padinya dijemur  di pinggir jalan. Selain menggunakan ani-ani, petani juga memanfaatkan mesin pemotong padi modern berupa traktor. Entah karena demi efisiensi atau memang disini sudah tidak ada lagi tenaga kerja yang tersedia.

Seperti yang disampaikan oleh beberapa penduduk, pekerja muda sudah banyak yang meninggalkan kampung halaman untuk mencari nafkah di kota lain di pulau ini, atau malahan dikota-kota besar di pulau Jawa. Sebagian lagi bekerja sebagai TKW di negeri tetangga yang kadang setelah sukses tak mau kembali kedaerahnya, 

Setelah otot-otot kaki memanas, sepeda saya kayuh lebih cepat karena situasi jalanan yang sepi, sebuah lembah yang  disambung oleh jembatan kokoh yang terbuat dari besi, berdiri diatas sungai yang mengering, berujung tanjakan panjang yang tak begitu terjal. 

Pemandangan sawah masih tampak mendominasi ketika saya merasakan keganjilan pada sepeda, rantainya susah untuk dipindahkan ke gir belakang yang paling kecil, namun karena target sudah tak jauh lagi, saya tidak begitu mempedulikan kondisi tersebut.

Menikmati perjalanan dengan suasana pegunungan di saat-saat akhir, di satu daerah yang jauh dari perkampungan penduduk, saya sempatkan mampir di sebuah warung terpencil, sekedar untuk berlindung dari terpaan sinar matahari yang mulai terik.

Tempat parkir yang luas dengan suasana bukit berbatu itu, sepeda saya sandarkan  kedindingnya. Segelas jus mangga saya pesan yang tak lama kemudian terhidang di atas meja kayu sederhana. Sebuah sepeda motor tampak ikut singgah disitu.

Seperti biasa, sebatang rokok saya habiskan dulu ditempat itu sebelum melanjutkan perjalanan kembali. Di sebuah turunan yang berujung pada jembatan besar terdapat pertemuan dua buah sungai yang cukup deras. Batu-batu yang  berserakan dimanfaatkan oleh sebagian penduduk untuk diperjualbelikan keluar daerah dengan diangkut oleh sebuah truk.   

Medan kembali mendaki panjang dimana saya merasakan langit yang semakin mendung. Pada sebuah tanjakan terjal yang menikung, hujanpun turun. Tak ayal hal itu membuat saya segera menepi untuk mengenakan jas hujan, namun hujan turun begitu derasnya, memaksa saya untuk mencari tempat perlindungan. 

Melihat ada sebuah pohon besar dibibir tebing dengan cekungan akar dibawahnya, sayapun berlindung disitu. Setelah sedikit reda, saya lanjutkan perjalanan, karena selain tempat yang sempit yang membuat saya harus diam berjongkok, juga agak mengerikan berteduh dibawah akar pohon yang bisa saja tumbang sewaktu-waktu.










Tak lama diatas sadel, terlihatlah sebuah warung kecil, sayapun berhenti berharap ada nasi untuk makan siang namun harapan saya meleset, warung ini hanya menjual minuman saja. Setelah saya melihat ke dalam ternyata ada beberapa mie instant yang terselip diantara tumpukan minuman tersebut, akhirnya karena tak ada nasi, mie instanpun jadi. Hal yang sama saya lakukan ketika menjalani  rute Mborong - Ruteng tempo hari, tak ada makan siang.

Perjalanan dilanjutkan setelah hujan benar-benar berhenti dan kopi sudah tandas dari tadi. Jalan yang mendaki masih terus mewarnai daerah ini, kata yang empunya warung tadi, puncaknya 5 km lagi! Dengan bersusah payah karena sebagian celana dan sepatu yang basah terkena hujan, akhirnya saya sampai di puncak pendakian bernama Golo Mbeliling. 

Tempat tertinggi di Manggarai Barat ini, ditandai dengan berdirinya sebuah baliho yang cukup besar yang berisi himbauan untuk menjaga keberadaan salah satu fauna di pulau ini yaitu burung Jalak Flores. 

Seperti diketahui burung Jalak Flores semakin terancam keberadaannya karena banyak diburu oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab dengan cara menangkap dan menjualnya keluar pulau. 

Hal tersebut bisa ditemukan jika anda berada di kapal fery dari Labuan Bajo menuju ke arah Sape di pulau Sumbawa. Di pojok-pojok yang terlindungi di kapal fery kandang-kandang burung tersebut banyak disembunyikan. Jika hal tersebut tidak diawasi, lama kelamaan burung asli pulau ini bakal benar-benar punah. 

Di hutan hujan tropis yang berada di puncak tertinggi pendakian dari Lembor menuju Labuan Bajo ini selain menjadi pusat habitat burung tersebut, pada saat itu terdapat pula sebuah proyek pembangunan menara telepon seluler dari sebuah operator besar. Mudah-mudah pembangunan itu tidak menimbulkan radiasi yang bisa mengganggu habitat burung Jalak di area tersebut.   

Kabut tebal yang turun menemani saya hampir sejauh 10 km. Jalanan tampak basah menurun berkelok-kelok, kadang berbentuk hairpin seperti yang banyak terdapat di daerah Bajawa dan Ruteng.  Beberapa kampung kecil dengan rumah-rumah penduduk yang berdiri berjauhan, sudah dilewati. 

Tebing-tebing yang berada di pinggir jalan dengan pohon-pohon keras berdiri diatasnya terlihat rapi, mungkin belum lama dipapas oleh dinas yang bersangkutan, sementara lembah yang dalam, terhampar di sisi kanan jalan dengan pucuk pohon yang sejajar dengan mata. 

Jalanan basah terus sampai menjelang kampung Dolong. Masjid kecil mulai terlihat di daerah ini sebagai tanda pesisir sudah tidak jauh lagi. Dari atas ketinggian di daerah pelataran komodo, kota Labuan Bajo sudah mulai terlihat, sepedapun saya kayuh cepat, tak sabar untuk segera menuntaskan perjalanan ini. 

Di medan yang  mendatar, matahari sore sempat memancarkan sinarnya di sela-sela awan yang kelabu. Beberapa tanjakan masih saya temui namun dapat dilewati dengan mudah. Suasana kota semakin terasa hingga saya menemukan lampu merah pertama dimana beberapa wisatawan tampak hilir mudik dengan sepeda motor sewaannya.

Tujuan pertama adalah menemukan Kantor teman yang saya titipkan dus sepeda yang tempo hari saya kirim dari Maumere melalui lionparcel . Sebelum saya sampai di alamat yang dituju saya berhenti dulu di pusat keramaian di pinggir pantai yang ternyata bernama Kampung Ujung. 

Lokasi yang dipenuhi oleh pedagang kaki lima ini ditata oleh pemerintah setempat menjadi tempat wisata kuliner. Menunya yang bervariasi dengan harga yang cukup terjangkau, membuat tempat ini menjadi salah satu tujuan favorit wisatawan lokal maupun mancanegara.

Saat itu selain saya, banyak pengunjung lain yang mulai berdatangan ketempat ini. Segelas jus Alpukat saya pesan di warung yang sedang dijaga oleh seorang perempuan yang masih duduk di bangku SMA.Ia tengah menggantikan tugas ibunya yang katanya sedang sakit.

Perasaan campur aduk saya rasakan antara lega dan setengah tak percaya bahwa saya sudah sampai di tujuan sesuai dengan target. Odometer yang terdapat di sepeda menunjukan angka 702 km, sebuah jarak yang cukup jauh  telah saya jalani di pulau yang indah ini. 

Sambil menikmati segelas jus ditengah suasana sunset, saya manfaatkan waktu dengan mengecek beberapa pesan di dalam handphone. Salah satunya dari teman saya dari Jakarta yang menanyakan posisi terakhir saya dan kemudian memberikan kartu nama yang bisa dihubungi jika saya sudah sampai di Labuan Bajo.

Segera saja saya hubungi nama tersebut. Dari hasil obrolan, beliau menawari saya untuk menginap di kantornya, namun karena tak mau merepotkan, akhirnya saya memilih untuk mencari penginapan saja. Sebuah Hostel untuk Backpacker di jalan utama dekat pelabuhan, menjadi pilihan saya sebagai tempat istirahat sebelum pulang ke Bandung nanti. 

Hostel yang sudah beroperasi selama dua tahun ini terlihat sederhana namun resik. Saat saya lihat kedalam ternyata semua tempat tidur susunnya masih terlihat rapi, sepertinya tak ada tamu yang lain selain saya sendiri. Petugas penginapan menyampaikan bahwa dampak dari erupsinya Gunung Agung di Bali banyak wisatawan membatalkan kunjungannya ke daerah ini.  

Setelah saya tanya harganya, ternyata hanya 75rb permalam dengan fasilitas AC dan Sarapan pagi. Harga tersebut jauh dari perkiraan saya yang tadinya membayangkan bahwa biaya penginapan di Labuan Bajo akan menjadi yang termahal dari tempar-tempat lainnya di pulau ini. Namun ternyata masih ada penginapan yang bisa terjangkau oleh seorang Bikepacker seperti saya.

Akhirnya setelah saya membayar dan memperlihatkan KTP untuk dicatat, Pannier saya copot dari sepeda dan membongkarnya dikamar yang berukuran 8x20m yang akan dihuni oleh saya sendiri. Kamar mandinya yang terletak di ruangan belakang saya manfaatkan untuk membersihkan diri sebelum mencari makan dimana cacing2 di perut sudah meronta-ronta.


bike to pulau









bike to pulau

bike to pulau

bike to pulau

bike to pulau



Bersambung...

Comments

Popular Posts