Tiwu Ata Mbupu.


bike to pulau

MONI - ENDE
28 Nov 2017.


Di pagi buta itu pintu kamar diketuk oleh pak Silvester yang mengingatkan saya untuk segera berangkat ke kelimutu "sekarang sudah jam 4 pagi...", katanya. Motor yang saya sewa darinya, tampak sedang dipanaskan mesinnya di halaman penginapan.

Setelah mencuci muka dan memakai baju hangat tambahan, motor saya pacu perlahan membelah kabut dingin Moni untuk menuju danau Kelimutu sejauh 13 km.

Marka jalan yang masih baru menyambut saya dari awal pertigaan Moni. Beberapa mobil mendahului saya dengan tujuan yang sama yaitu melihat danau tiga warna, sekaligus menikmati suasana matahari terbit di atas sana.

Beberapa bagian jalan terlihat ada yang sedang diperlebar, namun semakin ke atas jalannya masih sempit. Setelah membayar tiket di pintu gerbang utama seharga 5 ribu rupiah,  perjalanan harus dilanjutkan lagi sejauh 4 km, sebelum akhirnya tiba di ujung jalan dimana terdapat  Shelter dan tempat parkir kendaraan yang cukup luas untuk para pengunjung.

Motor saya parkirkan di dekat kios cenderamata. Ditempat ini sudah banyak wisatawan yang datang terlebih dulu, baik perseorangan maupun yang berkelompok. 

Beberapa Guide dari perusahaan Travel besar nampak sedang memberikan pengarahan kepada tamu-tamunya tentang peraturan di tempat tersebut. 

Langit masih gelap, ketika saya memulai perjalanan menuju puncak gunung itu. Dengan senter ditangan saya meninggalkan pos terakhir menelusuri jalan setapak yang berundak-undak. Di tengah perjalanan suasana mulai remang-remang, kabut putih  nampak masih terlihat menyelimuti puncak gunung.

Tak lama, semburat sinar merah muncul di ufuk timur, suasana seperti itu disambut gembira oleh beberapa burung yang berkicau dengan riuhnya. Saat semakin terang, tampaklah  Danau Kelimutu yang berupa kawah di antara puncak gunung.

Setelah menemukan tempat yang mendatar, kita harus naik lagi melewati berpuluh-puluh tangga yang dilengkapi pegangan tangan. Hingga tibalah di puncak gunung kelimutu yang ditandai berdirinya tugu bercat putih. Seteguk air berhasil membasahi kerongkongan yang tadi sempat kering. Beberapa wisatawan nampak sedang mengambil gambar sekitar Danau dengan kameranya.

Tempat ini sama seperti tempat wisata lainnya yang tidak steril dari para pedagang, sekali pun di puncak gunung. Tapi mereka berjualan dengan tertib, tak ada pemaksaan ke pengunjung. Barang yang dijual adalah kain-kain tenun ikat yang berasal dari daerah sekitar Moni dengan ukuran dan motif yang berbeda-beda.

Saat akan duduk saya sempat melihat beberapa Termos diantara dagangan tersebut,  ternyata mereka juga menyediakan kopi, maka segelas kopi pun saya pesan untuk menghangatkan badan.

Kopi hitam lokal yang panas dan tanpa gula, menemani saya menikmati sejenak suasana di puncak gunung yang eksotis ini, sesekali angin pegunungan yang dingin menerpa wajah.

Gunung Kelimutu yang berada di ketinggian 1639 Mdpl ini dipuncaknya terdapat 3 Danau Vulkanik berisi air yang masing-masing berbeda warna, dan saat itu yang terlihat adalah yang Hijau tua, Hijau Muda dan satu lagi berwarna kehitaman, namun warna-warna  ini bisa berubah seiringnya  waktu.

Kelimutu merupakan gabungan kata dari "Keli" yang berarti gunung dan kata "Mutu" yang berarti mendidih. Menurut kepercayaan  dari penduduk setempat, warna-warna pada danau Kelimutu memiliki arti masing-masing dan memiliki kekuatan alam yang sangat dahsyat.

Danau atau Tiwu Kelimutu dibagi atas tiga bagian, sesuai dengan warna-warna yang ada di dalamnya. Danau berwarna hijau tua atau "Tiwu Nuwa Muri Koo Fai" merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa muda-mudi yang telah meninggal. Danau berwarna hijau muda atau "Tiwu Ata Mbupu" merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang tua yang telah meninggal.

Sedangkan danau yang  berwarna kehitaman atau "Tiwu Ata Polo" merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang yang telah meninggal, dan selama ia hidup banyak melakukan keburukan.

Matahari mulai meninggi & semakin terik, sayapun beranjak turun untuk pulang ke penginapan guna bersiap-siap meneruskan kembali perjalanan menuju Ende. Saat menyusuri jalan yang tadi dilewati, ternyata ada beberapa bangunan yang tidak terlihat karena waktu itu masih gelap, salah satunya adalah WC umum yang terlihat bersih dengan airnya yang terasa menyegarkan.

Tak jauh dari tempat itu, ada sebuah bangunan yang belum selesai dikerjakan, tampak dari bahan-bahannya yang beserakan. Teringat sekilas obrolan tadi malam dengan pak Silvester yang mengatakan beberapa hari yang lalu masyarakat setempat melakukan aksi demo memprotes pendirian bangunan di area dekat danau, mungkin bangunan itu yang dimaksud.

Dalam tuntutannya, mereka ingin agar area danau Kelimutu ini tetap alami, tidak diganggu oleh bangunan-bangunan permanen terbuat dari tembok. Mereka takut alam akan murka jika bangunan baru tersebut nanti benar-benar berdiri.

Hal ini terjadi juga di beberapa tempat wisata yang lain  di negeri ini, dimana beberapa minggu sebelumnya saya mendapat imel permohonan dukungan di Change.org yang menolak pembangunan pendopo tempat istirahat, tepat di puncak Gunung Ijen Jawa Timur.

Mereka miris karena di puncak gunungnya sedang dibangun pendopo berbahan semen dengan pondasi beton permanen. Padahal, Kawasan Gunung Ijen merupakan Taman Wisata Alam yang berdampingan dengan Cagar Alam.

Sebelum mengambil motor di tempat parkir saya sempatkan mampir di Shelter dulu. Semangkuk mie instant saya santap sekedar untuk menghangatkan perut yang masih kosong, karena saat berangkat tadi belum sempat diisi.

Beberapa wisatawan lokal melakukan hal yang sama, sementara yang lainnya nampak terlihat asik bernegosiasi dengan para penjual kain.

Menuruni pegunungan Kelimutu, mata dimanjakan dengan pemandangan-pemandangan yang indah,  beberapa kampung terlewati, ada yang berada di pinggir jalan, ada pula yang diatas perbukitan.

Saat memasuki sebuah kampung, saya sempat kaget karena melihat sebuah  karya instalasi besar yang terbuat dari bambu berbentuk Sepeda. Sayang pada saat itu tidak ada seorangpun yang bisa memberikan keterangan siapa yang membuat dan kenapa mengambil bentuk benda itu. Karena sepertinya, Sepeda tidak terlalu familiar bagi penduduk di pulau ini dengan medannya yang bergunung-gunung.

Tiba di penginapan segera saya mengemas barang-barang untuk dimasukan ke dalam Pannier lagi. Pak Silvester datang menanyakan sarapan, yang saya jawab nanti saja untuk makan siang. Karena saya ingin istirahat dulu sebentar.

Sempat terlelap beberapa saat, namun setelah bangun, badan kok terasa tak enak. Saya mencoba mengingat-ingat kembali, apakah karena kemarin terlambat makan? atau karena tadi pagi ketika badan belum fit tetap memaksakan ke Kelimutu?

Segera saya minta disiapkan makan siang saja sebagai pengganti jatah sarapan tadi, namun ketika sedang menyantap makanan, hujan turun dengan derasnya . Melihat kondisi yang ada, sayapun sempat ragu, apakah harus meneruskan perjalanan ke Ende hari ini atau ditunda esok hari saja sampai badan terasa fit kembali?

Karena tidak mau merusak jadwal yang direncanakan dan juga sudah berjanji untuk bertemu dengan teman yang menunggu di Ende, akhirnya dengan sedikit nekad sayapun bersiap kembali untuk meneruskan perjalanan berbekal Paracetamol yang sempat saya telan.

Melihat kondisi tubuh saya yang tidak begitu baik, pak Silvester menawarkan diri untuk membawakan Pannier untuk ia angkut ke tempat tertinggi di kawasan itu. Beliau bilang 8 km dari tempat ini jalan akan terus mendaki, akhirnya sayapun menyerahkan Pannier tersebut ke beliau.

Hujan telah reda ketika saya mulai menggowes sepeda dengan melewati perkampungan di sekitar Moni. Di tempat ini terdapat banyak fasilitas untuk kebutuhan turis, baik berupa homestay, hotel maupun cafe-cafe. 

Harganya pun bervariasi, namun karena sedang sepi tamu yang mungkin diakibatkan oleh erupsinya gunung Agung, beberapa penginapan membanting harga.






bike to pulau
Bangun menjelang pagi demi mengejar sunrise.

bike to pulau
Kicauan burung menemani sepanjang perjalanan menuju puncak Kelimutu.

bike to pulau
Teralis pagar untuk kemudahan pengunjung menaiki tangga.

bike to pulau
DanauTiwu Nuwa Muri dan Ata Polo.

bike to pulau
Instalasi sepeda terbuat dari bambu.


Jalan semakin terjal mendaki, saat terlihat beberapa pekerja dari Telkom yang sedang melakukan pekerjaan penggalian tanah untuk  kabel-kabel yang akan mereka tanam di bahu jalan.

Dengan bersusah payah akhirnya saya tiba di tempat tertinggi ketika ditegur oleh supir kendaraan minibus yang memberitahu bahwa ini adalah puncak dari pendakian. 

Ternyata  yang menegur tadi adalah pak Silvester dengan mobilnya, yang mana saya pikir beliau akan membawakan pannier saya  memakai sepeda motornya. Setelah mengucapkan terimakasih dan sedikit uang sebagai pengganti bensin, Pannier pun beralih ke Sepeda. 

Dengan mengayuh perlahan, saya nikmati perjalanan di puncak perbukitan ini. Kebun-kebun sayur tampak sedang digarap oleh para petani, tak lama kemudian kabut turun dan mulai menutupi sebagian pandangan, mungkin imbas dari hujan yang tadi sempat turun.

Bersepeda di tengah situasi seperti ini sungguh mengasyikan, alam sekitar nampak berwarna putih dengan jarak pandang hanya 5 meter saja. Selama setengah jam kabut itu menemani saya. Keraguan terhadap kondisi badan yang tadi sempat demam, sudah tak  terasa lagi setelah beberapa lama menggowes.

Kabut mulai menghilang saat matahari menampakan sinarnya dari balik awan.  Elevasi mulai berubah drastis ketika saya menuruni perbukitan tersebut. Di sebuah pertigaan Wologai saya berhenti sejenak di pasar tani yang banyak menjual hasil bumi. 

Teringat pesan seorang kakak di Bandung, saya pun mencari buah Sawo, setelah bertanya-tanya tentang buah tersebut, akhirnya saya menemukannya di sebuah warung kecil di pojokan kios.

Sawo yang saya coba ternyata sedikit berbeda dengan sawo-sawo yang saya kenal sebelumnya. Sawo disini terasa mirip dengan buah Plum yang dagingnya terasa rangu. 

Akhirnya 4 buah sawo saya makan habis di tempat tersebut dan bijinya saya masukan kedalam tas, karena kakak saya minta dibawakan biji buah itu untuk nanti dicoba dikembang-biakan di Bandung.

Memburu waktu ke Ende, sepeda saya gowes cepat namun menjelang Detusoko tiba-tiba hujan turun lagi memaksa saya mencari tempat berteduh untuk mempersiapkan raincoat.

Sebuah rumah sederhana disamping atas jalan dimana seorang Ibu dan anak perempuannya tengah duduk-duduk, menjadi tempat saya berlindung dari guyuran hujan itu. Sayapun mohon ijin untuk ikut berteduh.

Sang ibu mempersilakan saya untuk masuk ke rumahnya yang berdinding bambu gedek. Suasana di dalam rumah yang berlantai semen tersebut terlihat lengang, hanya tampak 3 buah kursi plastik sederhana.

Seorang anak yang sedang tidur diselimuti sarung dari kain tradisional tergeletak diatas selembar kasur tipis di pojok ruangan, selain itu ada beberapa teman anak-anaknya yang sedang bercengkrama seusai pulang sekolah.

Tak lama Ibu itu menghidangkan makanan berupa nasi putih dengan lauk pauknya yang sederhana di lantai rumahnya, karena saya tak melihat ada meja disini. Karena masih kenyang oleh Sawo, dengan halus saya tolak tawaran tersebut, sedangkan anak-anak yang lain mulai menikmati makan siang yang disajikan.

Setelah hujan reda sayapun pamit dan menyalami semua yang ada di ruangan itu. Sang ibu sempat menerangkan bahwa anaknya berjumlah lima orang, salah satu anaknya yang tadi tiduran itu sedang menderita sakit Malaria katanya.

Setelah saya tanyakan apakah sudah mendatangi Puskesmas yang ada di kecamatan? beliau jawab sudah dan oleh dokter yang memeriksanya telah dibekali obat. Dengan jawabannya yang agak melegakan, sayapun tidak berat hati meninggalkan rumah tersebut.

Kecamatan  Detusoko ini berada di daerah pegunungan dimana hasil buminya adalah Padi, Kopi dan Sayur-sayuran yang dipasok ke beberapa kota terutama Ende. Di salah satu lokasi jalan raya Jalasumbu terdapat sawah bertingkat yang unik, kadang-kadang wisatawan asing berhenti di pinggir jalan itu untuk sekedar menikmati pemandangan, sepertinya menarik kalau ada rest area di tempat itu.

Jalanan menuju Ende semakin menurun karena posisinya yang berada di pesisir pantai. Di beberapa sisi tebing terdapat pancuran kecil yang mungkin dibuat oleh penduduk sekitar. Pancuran itu boleh dimanfaatkan oleh siapa saja, termasuk saya yang ingin mencoba merasakan kesegaran airnya dengan mencuci muka sekaligus mengganti kaus yang sudah penuh oleh peluh.

Beberapa titik jalan terlihat bekas-bekas longsoran, sebagian sudah bersih dan  sebagian lagi sedang dikerjakan oleh petugas Binamarga dibantu oleh  warga sekitar. 

Ketika sedang asik menikmati jalan yang menurun, tiba-tiba sebuah sepeda motor mendekat dan bertanya apakah ada sesuatu yang hilang? Setelah di cek ternyata saya tidak memakai sarung tangan seperti biasa.

Pemuda itupun menyerahkan sarung tangan yang sempat saya lepas ketika mencuci muka di pancuran tadi. Sayapun berterimakasih atas kebaikannya, namun dengan cepat pemuda itu kembali kearah berlawanan. Setelah saya ingat-ingat lagi betapa jauhnya pemuda itu berkorban menyusul saya hanya untuk sekedar mengantarkan sepasang sarung tangan..

Kondisi jalanan semakin curam menurun dan berkelok-kelok dengan jurang-jurang menganga siap menelan pemakai jalan yang kurang waspada, di sebelah kanan terdapat bukit berbentuk segitiga menghampar bergelombang tajam khas pegunungan NTT.

Memasuki 8 km terakhir menuju Ende, saya disapa oleh pengendara motor dan mengaku bernama bang Katib dari komunitas Mio di kota tersebut yang baru pulang mengajar dari salah satu sekolah di kecamatan Wolowaru.

Seperti biasa saya ditanya dari mana mau kemana,  ia juga sempat menyebutkan beberapa nama dari tempat saya berasal yang salah satunya saya kenal. Pemuda yang gagah ini ternyata kerap berkelana dengan motornya disaat libur, ke beberapa daerah di Indonesia, terakhir ia mengunjungi Aceh. 

Mungkin karena pernah merasakan hal yang sama seperti yang sedang saya lakukan sekarang, beliau mengajak saya untuk menginap di rumahnya di Ende, namun karena saya punya janji bertemu dengan seseorang dari komunitas sepeda Ende hasil dari referensi Sahrul dari Bali, tawaran baik itu saya  tolak dengan halus. Ia pun akhirnya menemani saya diperjalanan dan sempat mengabadikan saya dengan latar belakang gunung batu ciri khas daerah Indonesia timur.

Setelah sampai di tempat yang dijanjikan, akhirnya saya bertemu dengan orang tersebut, mas Heru namanya, dengan 2 anak perempuannya yang dibonceng menggunakan sepeda motor dinas kepolisian!!.  Sebelumnya tadi malam beliau menghubungi saya via wa sebagai terusan informasi yang di share ke komunitas sepeda beberapa hari lalu saat sepeda saya bermasalah.

Setelah bercakap-cakap sebentar, beliau mengajak saya minum kopi disebuah tempat wisata pinggir pantai di pesisir barat Ende. Sebuah foodcourt sederhana yang tampak rapi dan bersih dengan beberapa pengunjung sedang menikmati suasana matahari tenggelam.

Kami mengobrol hangat ditemani Es Buah yang sudah lama tidak saya temui. Ia bercerita bahwa ia seorang penggemar sepeda juga dan sempat membantu beberapa kegiatan Sepeda di pulau ini, antara lain Tour De Flores, Tour Jelajah Kompas juga Tour pesepeda pensiunan sebuah BUMN di Jakarta. 

Bekerja sebagai Polisi dan bertugas di sebuah kecamatan di barat kota Ende, iapun menawarkan saya  berkeliling kota terutama untuk melihat situs sejarah peninggalan Bung Karno esok hari, yang tentunya saya sambut dengan rasa terimakasih.

Setelah ngobrol panjang, beliau pun pamit duluan karena anak2nya harus segera pulang sebelum malam tiba. Tak lama beliau pulang, saya bersama bang Katib bersiap menyusul. Saat akan membayar minuman ternyata semuanya sudah dibayar oleh mas Heru. Kamipun segera mencari penginapan terdekat, agar esok mudah menjangkau objek wisata di kota ini, terutama situs sang pendiri Negeri.

Ditemani Bang Katib akhirnya saya menemukan sebuah tempat kos yang juga disewakan harian berfasilitas AC dengan tarif  175rb, menjadi tempat saya beristirahat di kota rahimnya Pancasila ini.





bike to pulau
Puncak pendakian diatas Moni.

bike to pulau
Sawo Ende yang rasanya seperti buah Plum.

bike to pulau
Idi Amin nampak berjajar dengan motor-motor yang diparkir saat hujan menjelang Detusoko..

bike to pulau
Menerima keramahan khas daerah setempat.

bike to pulau
Pegunungan menjelang Ende.

bike to pulau
Senja di pantai Ende.

bike to pulau

bike to pulau
bike to pulau

Comments

Popular Posts