Ranamese.

bike to pulau


 MBORONG – RUTENG 
4 Desember 2017.


Setelah bangun pagi saya langsung sarapan di warung sebelah penginapan. Nasi kuning  ini dijual oleh pendatang dari Sumbawa itu banyak dibeli orang terlihat dari antriannya.  Seperti biasa isinya adalah irisan telur, sambal dan tempe kering terasa renyah di mulut. 

Suasana kota kecil ini mulai menggeliat, beberapa angkutan antar kota berplat hitam yang orang setempat menamainya mobil travel itu mulai bolak-balik mencari penumpang.

Borong adalah ibukota Kabupaten Manggarai Timur yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Manggarai pada tahun 2007. Mempunyai beberapa tempat wisata antara lain Danau Ranamese, Situs Watu Nggene, Pantai Cepi Watu dll.  

Di sela-sela istirahat semalam, saya sempatkan untuk menata ulang posisi penyimpanan barang di sepeda karena perjalanan menuju Ruteng akan berlangsung berat, medannya akan terus mendaki  dari 4 mdpl menuju 1200 mdpl. Segelas kopi hitam menemani membereskan barang-barang. saat kopi habis, barang-barang tersebut langsung saya naikkan ke sepeda.

Setelah meninggalkan penginapan, suhu sudah berkisar di 28 DC, maklum ini adalah daerah pesisir. Medan masih mendatar di 4 km pertama. Sebuah jembatan yang berdiri di atas sungai Wae Bobo sempat dilewati. Sungai itu bermuara di pantai Cepi Watu yang menjadi tempat wisata favorit di kabupaten ini. setelah itu tanjakan mulai mewarnai perjalanan ini. Rumah penduduk masih saling berdekatan dengan kebun-kebun palawija disamping kiri kanannya. 

Sepeda yang membawa beban 12 kg berisi barang-barang keperluan perjalanan, masih belum terasa berat, system rem yang diawal etappe sempat bermasalah kini sudah tak terasa lagi.

Melewati kantor Kecamatan Ranamese jalan semakin mendaki, sementara terik matahari sudah mulai menaikkan temperaturnya. Persedian air di bidon berkurang sedikit demi sedikit, terpakai untuk membasahi kerongkongan. 

Perbukitan tampak menghijau dengan tanaman-tanaman keras berdiri di sela-sela ladang penduduk yang banyak ditanami pohon Cengkih. Beberapa orang terlihat membawa kayu bakar yang mereka ambil dari sana untuk keperluan rumah tangganya.

Lalu lintas terasa lengang, sesekali mobil travel yang diisi beberapa penumpang melewati saya. Tak salah saya memilih pulau ini untuk bertualang, jalan mulus dengan medan yang menantang, udara bersih dan penduduk yang ramah. Pemandangannya yang menakjubkan bisa dinikmati oleh para pesepeda. 

Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dari timur sampai barat menyajikan tempat-tempat indah untuk dijelajahi. walaupun infrastrukturnya tidak semua ideal, namun kondisi dasar sudah terbangun dengan baik, kalaupun ada kekurangan saya anggap sebagai tantangan saja.

Air minum yang saya bawa sebanyak dua botol itu akhirnya tandas juga saat memasuki sebuah kampung. Sayapun mampir di sebuah warung kecil yang terlihat menjual beberapa barang kebutuhan rumah tangga. 

Seperti biasa sasaran pertama yang dituju adalah kulkas dimana akan tersedia minuman favorit saya. Segera saya buka 1 kaleng untuk melepaskan dahaga, hingga tandas. Tak lama duduk seorang anak perempuan datang untuk jajan, "Cape, habis ujian di sekolah di kampung sebelah" katanya. 

Di samping menjual kebutuhan rumah tangga, warung ini juga memproduksi batubata dimana suami dari pemilik warung itu tampak sedang menjemur produknya setelah selesai dicetak. Menurut penuturannya, batubata tersebut dibuat untuk memenuhi kebutuhan di daerahnya saja, belum sampai dikirim keluar kota karena peralatan produksinya masih terbatas, ujarnya.

Setelah mengisi ulang minuman dan berpamitan,  sepeda saya kayuh kembali. Beberapa pelajar SMAN Sita, tengah nongkrong di depan sekolahnya, mungkin mereka sedang menunggu angkutan umum, atau sedang mendiskusikan hasil ujian akhir semesternya, entah.

Saat matahari tepat berada di atas kepala, perut sudah minta diisi. Sayapun bertanya kepada murid yang pulang berjalan kaki, dimana ada warung makan, ternyata mereka bilang tempat yang dicari tersebut tidak ada di kampung ini, coba di kampung depan katanya.

Akhirnya di kampung selanjutnya itu, saya menemukan sebuah warung di seberang sebuah kantor desa. Setelah menyimpan sepeda dan membuka helm, sayapun memasuki warung tersebut namun yang terjadi adalah nasinya telah habis, diborong oleh kontraktor pertambangan pasir, ujar sang pemilik.

Karena sudah sangat lapar akhirnya saya minta direbuskan Mie instant saja, lumayan untuk  mengganjal perut. Semangkuk mie saya santap dengan harapan memulihkan lagi tenaga yang sudah mulai loyo untuk menghadapi medan yang terus mendaki keras berkelok-kelok menuju Ruteng.

Suhu udara mulai menurun karena medan perjalanan sudah memasuki daerah perbukitan di Mborong utara ini.  Pohon-pohon besar sebagian memayungi jalan ditambah dengan semilir angin yang segar, membantu kayuhan sedikit terjaga, sementara kabut tipis mulai terlihat di beberapa puncak bukit diatas sana. 

Disela-sela pendakian saya sempatkan membeli kelapa muda dari petani langsung hasil dari kebunnya dengan harga 5 ribu, air kelapa itupun dengan cepat masuk ke dalam kerongkongan.











Mendekati Danau Ranamese yang berada di kaki timur gunung Ranaka, hujan mulai turun disertai kabut tebal. Suasana mistis mulai terasa, mungkin saya sedikit tersugesti oleh penuturan beberapa penduduk sebelumnya yang katanya agar berhati-hati bila melewati daerah ini. 

Namun hujan mulai mereda ketika saya sudah berada dekat sebuah tembok besar di kanan jalan. Penasaran dengan tembok tersebut, sepeda saya hentikan, ternyata di balik tembok tersebut terdapat jurang yang dibawahnya terdapat Danau Ranamese. 

Tempat itu terasa senyap, kabut tipis menutupi sebagian danaunya, tak terlihat ada kehidupan disana, hanya pucuk-pucuk pohon tinggi bergoyang-goyang terkena angin.

Tembok pembatas tadi dibangun konon untuk melindungi kendaraan yang melintas, agar tidak tersedot kearah danau. Karena dalam beberapa kejadian, kendaraan terjerumus ke danau di titik itu dan selalu menelan korban jiwa. 

Tak jauh dari tembok tersebut terdapat Taman Wisata Ranamese yang menjadi salah satu pintu masuk kearah danau,  namun karena target masih jauh, saya abaikan keinginan untuk melihat dari dekat keberadaan danau itu.

Hujan kembali turun ketika sepeda mulai saya kayuh meninggalkan tempat tersebut. Kabut terus menemani sampai di puncak pendakian, kemudian hilang ketika menurun menuju kampung Mano. Selepas kampung jalan kembali menanjak berkelok-kelok melewati daerah Robo dimana terdapat pertigaan jalan menuju puncak gunung Ranaka yang berada di ketinggian 2140 mdpl. 

Gunung Ranaka merupakan gunung tertinggi di Manggarai termasuk dalam gugus pegunungan Mandusawu yang membentang dari Kabupaten Manggarai Barat hingga Manggarai Timur.

Namanya diambil dari sebuah danau kecil yang berada di sekitar puncak yakni Ranaka, yang secara harfiah Rana berarti danau dan Ka berarti burung gagak. Di Sebelah timur puncak Ranaka terdapat kawah gunung berapi yang sempat meletus pada Januari 1988 dan membentuk anak gunung Ranaka dengan nama Nampar Nos. 

Puncak Ranaka menyimpan segudang pesona, mulai dari sejarahnya hingga pemandangan alamnya. Konon, di sekitar telaga Ranaka, yang terletak di ketinggian 2140 mdpl, merupakan kampung tradisional nenek moyang orang Manggarai pertama yakni Kuleng, sehingga tempat itu sering disebut sebagai Bangsa Kuleng. 

Lalu dari sana menyebar ke kampung-kampung sekitar, hingga akhirnya ke seluruh Manggarai. Telaga Ranaka sendiri merupakan pemandian bagi warga kampung Kuleng. Dari kisah ini, jelaslah bahwa Puncak Ranaka merupakan tempat yang paling bersejarah dalam kebudayaan Manggarai.

Jalan pertigaan menuju pintu masuk ke gunung ini bisa menjadi patokan, bahwa kota Ruteng yang dituju sudah tidak jauh lagi. Bukit menghijau dengan jalanan yang masih basah disebabkan oleh hujan yang turun sebelumnya, membuat saya tidak melepaskan jas hujan yang dipakai.

Sepeda saya kayuh konstan, dalam beberapa kesempatan menghadapi turunan, sepeda saya pacu kencang dengan harapan masuk kota Ruteng hari masih terang. Saat memasuki jalan yang mendatar panjang di dekat terminal Lando, gapura selamat datang berdiri dengan gagah menyambut saya. Denyut kota mulai terasa di tempat itu, dimana sudah banyak bangunan yang berdiri rapat di kiri-kanan jalan.

Memasuki kota, jalan mulai terlihat lebih lebar walaupun masih diwarnai dengan tanjakan dan turunan. Setelah melewati SPBU dengan antriannya yang panjang, sepeda saya arahkan ke tempat penginapan sesuai dengan referensi yang saya dapat ketika bertemu dengan seorang sales minuman didaerah Batu hijau Ende tempo hari.

Hari sudah mulai gelap tapi tempat itu tak kunjung ditemui. Setelah beberapa kali bertanya ke penduduk akhirnya tempat yang dimaksud sudah tampak di depan mata. 

Penginapan yang berada di tengah-tengah pesawahan ini dirancang seperti resort sederhana, namun tempatnya yang berada di pinggir kota, samping Bandara Ruteng, agak sedikit menyulitkan untuk masalah logistik. Akhirnya dengan beberapa pertimbangan, saya urungkan niat untuk bermalam di tempat itu.

Berbekal tenaga ekstra saya balik lagi ke arah kota, mencari tempat yang mudah untuk mengakses segala kebutuhan. Sebuah penginapan yang terlihat seperti rumah kayu yang berada di pinggir jalan utama menjadi pilihan terakhir saya. Harga yang masuk dalam anggaran dengan fasilitas air hangat dan sarapan, menjadi kelebihan dari tempat yang sebelumnya saya datangi tadi.

Setelah membersihkan diri, sebuah restoran sederhana dengan menu Capcainya di persimpangan alun-alun kota, menjadi tempat saya memulihkan tenaga, dimana sepanjang siang saya tidak bertemu dengan nasi sama sekali selain mie instant itu. Maklum orang Melayu kalau belum ketemu nasi seolah belum makan.




bike to pulau

bike to pulau

bike to pulau

bike to pulau



Bersambung...

Comments

Popular Posts