Kota Rahimnya Pancasila.


bike to pulau


ENDE - BOAWAE
29 Nov 2017.


Bangun di pagi ini saya merasakan kesegaran yang luar biasa, waktu tidur yang panjang seusai makan tadi malam di sebuah kedai Soto Lamongan  dan kasur yang empuk di penginapan, berhasil melenakan saya.

Setelah membersihkan badan, sayapun harus mencari sarapan diluar, karena pihak penginapan tidak menyediakannya. Penghuni lain tampak sedang bersiap-siap untuk berangkat ke tempat kerjanya. 

Saat berkeliling di sekitar penginapan yang berada di tengah kota ini, akhirnya saya melihat sebuah warung  yang sedang banyak dikunjungi pembeli, sayapun minta dibungkus saja untuk di santap di penginapan.

Sarapan saya lakukan di teras kamar yang bersebelahan dengan kantor penginapan, Makan pagi sekaligus juga menggali informasi tentang kota ini. Salah seorang anak muda pegawai ditempat ini sempat mengingatkan saya untuk berhati-hati kalau nanti melewati satu kawasan di kab. Manggarai. 

Konon di daerah yang bernama danau Ranamese, suasana angker dan menyeramkan akan ditemui. Ia menyarankan saya untuk tidak melewati tempat tersebut di malam hari, karena banyak kejadian, katanya. Saya tidak tahu apakah ini benar atau hanya sekedar menakut-nakuti saja, walahuallam.

Setelah sarapan selesai, mas Heru datang sesuai janjinya kemarin akan mengajak saya untuk berkeliling kota, terutama mengunjungi situs Bung Karno, yaitu Taman Perenungan dan Rumah Pengasingannya yang berada tak jauh dari penginapan.  

Ia membawa bungkusan yang berisi Nasi Uduk, untuk sarapan pagi saya, katanya, namun karena sudah makan, akhirnya Nasi bungkus itu saya terima dan disimpan untuk bekal di perjalanan.

Setelah memastikan tak ada barang yang tertinggal, penginapan kita tinggalkan dan memulai perjalanan di hari itu. Lalu lintas tidak begitu padat, matahari Ende tampak cerah dengan temperatur tidak lebih dari 25 DC. 

Pertama beliau mengajak saya untuk berfoto di Km. 0 kota Ende yang terletak di seberang lapangan olahraga. Tempat itu katanya sering menjadi objek foto bagi para pengelana sepeda maupun motor yang datang ke pulau ini. Tempatnya berada didepan sebuah kantor instansi pemerintah yang pada saat itu tampak ramai karena sedang ada acara Koordinasi Kependidikan yang dilaksanakan oleh Disdik setempat.

Perjalanan berlanjut, kali ini kesebuah taman yang terlihat asri, dan terpelihara dengan baik. Taman itu ternyata adalah tempat dimana Bung Karno dulu sering berkunjung untuk mengisi waktu disela-sela pengasingannya. 

Di tempat inilah, di salah satu sudut dibawah naungan pohon Sukun, beliau sering merenung, sampai akhirnya menemukan sebuah konsep dasar dalam bernegara yang bernama Pancasila, adapun berjumlah lima beliau mengambil philosofinya dari daunnya yang memang berjumlah lima.

Setelah mengunjungi tempat yang inspiratif itu, saya tak sabar untuk segera mengunjungi rumahnya di lokasi yang berbeda. Saat di perjalanan saya sempat menangkap keheranan dari beberapa orang yang melihat saya bersepeda dengan membawa tas-tas besar ditemani oleh seorang petugas kepolisian, lengkap dengan atributnya. Mungkin yang ada dibenak mereka saya ini adalah orang penting yang harus dikawal.

Melalui sebuah jalan yang tidak terlalu ramai, tibalah kita di sebuah bangunan sederhana, dengan plang besarnya yang menunjukan bahwa rumah tsb adalah rumah pengasingan BK. Rumah yang terdiri dari beberapa ruangan itu masih terpelihara dengan baik karena dirawat oleh Pemerintah sebagai sebuah situs sejarah.

Saat masuk ke dalam rumah, ruang tamu dan perabotan yang menyertainya masih ditata seperti aslinya. Demikian pula ruang tidur Bung Karno di bagian tengah. Sementara di bagian belakang terdapat sumur dengan kerekan yang berisi ember yang konon airnya bisa langsung diminum.

Kamar mandi dan dapurnya pun masih terlihat seperti sediakala. Beberapa barang peninggalan Beliau dipamerkan termasuk surat nikah sekaligus surat perjanjian cerainya dengan Ibu Inggit Garnasih pada tahun 1942.

Berkeliling di rumah pengasingan ini kita diajak kembali mengenang bagaimana perjalanan hidup Bung Karno di rumah tersebut dan betapa kuatnya mental Bung Karno menjalani kehidupan di Ende, jauh dari keramaian dengan penjagaan ketat Pemerintah Hindia Belanda selama 4 tahun lamanya.

Setelah berpamitan ke penjaganya, saya melanjutkan perjalanan ke kota selanjutnya, yaitu Boawae yang berjarak 75 km dari tempat ini bersama-sama mas Heru yang akan menuju tempat tugasnya yang kebetulan searah menuju luar kota. Kontur jalan di kota sebagian naik turun sehingga saya sempat tertinggal dari motor yang dikendarainya.

Tak lama mengayuh terlihat sesosok orang yang sepertinya saya kenal, setelah dekat ternyata itu David si bule Hitchhiker asal  Kanada yang tengah berjalan kaki dengan mengenakan pakaian yang sama seperti 3 hari lalu saat pertama bertemu di Moni.

Dia terlihat kaget bertemu lagi dengan saya di tempat yang berbeda. Saat saya tanya mau kemana ia bilang mau jalan-jalan di kota setelah kemarin datang dengan menumpang kendaraan orang katanya.  

Dia sempat menanyakan apakah saya sudah mencoba makanan lokal di pinggir pantai, saya bilang sudah tadi malam. Ia juga bilang sudah mencobanya, yaitu makan bakso. Saya bilang itu sih bukan makanan tapi cemilan. Kitapun terbahak-bahak di pinggir jalan. 

Di penghujung obrolan saya sarankan agar ia mampir ke rumah BK karena itu adalah sebuah situs  penting bagi sejarah bangsa ini, dia pun mengiyakan. Setelah itu saya pamit karena mas Heru pasti sedang menunggu saya yang tak kunjung menyusul. 

Waktu baru menunjukan pukul 9 lebih ketika matahari sudah menyinari punggung dengan teriknya. Mas Heru tetap setia “mengawal” saya di depan sementara teluk Ende mengawal saya di sebelah kiri.  Laut yang biru itu menyimpan sejarah masa lalu dimana sepenggal sejarah negeri ini terserak di teluk itu.

Jalanan yang sepi membuat kita bisa bercengkrama berdampingan di kendaraan masing-masing. Mas Heru yang asli Tulung Agung namun lahir dan besar di Bali, beristerikan orang Bima di pulau Sumbawa. Beranak 3, sudah berdinas di Kepolisian Ende selama 13 tahun seusai perekrutan di Denpasar Bali. 

Polisi  yang berpangkat Bripka ini bertugas sebagai Babinkamtibmas di desa Borokanda kecamatan Ende Utara. Polisi yang sederhana namun berdedikasi tinggi ini mempunyai tanggung jawab besar yang ingin selalu  berada di tengah2 masyarakat untuk mengayomi.

Setelah sampai di tempat tugasnya, kamipun sempat berfoto bersama sebelum berpisah untuk melanjutkan perjalanan dengan diabadikan oleh seorang pelajar SD yang baru pulang dari sekolahnya. 

Jalur trans Flores di pesisir pantai Ende yang membentang dari Timur ke Barat sejauh 30 km, udaranya sangat panas dan terasa menyiksa, membuat saya harus berulang kali beristirahat untuk sekedar berteduh dan minum air. Suhu di puncak musim kemarau di pesisir pantai ini konon bisa mencapai 35 DC yang mana bila kita lalai minum bisa membuat tubuh dehidrasi.

Kondisi jalan di sebagian tempat sudah diperlebar sesuai standar jalan nasional yaitu 7 meter, namun di sebagian lain masih nampak kecil. Beberapa tebing yang berada dibukit nampak sedang dipapas dengan alat berat. 

Pengerjaan jalan yang separuh-separuh ini mungkin berdasarkan skala prioritas sambil menunggu anggaran dari pemerintah turun, seperti yang pernah disampaikan oleh petugas Binamarga di Talibura beberapa hari yang lalu.

Merasakan badan yang sedikit lemas, saya mampir ke sebuah kios milik seorang ibu di sebuah kampung dan meminta segelas kopi, karena saya baru sadar bahwa sedari pagi, saya belum sempat ngopi. 

Namun berhubung tidak menjual kopi, akhirnya bapak tua yang berada tak jauh dari tempat saya berdiri, berinisiatif  meminta ke rumah sebelah dengan sedikit berteriak untuk membuatkan kopi untuk saya. 

Bapak tua itu ternyata tetua di kampung ini, semua rumah-rumah disekelilingnya adalah milik anak-anaknya. Orang tua berpeci hitam dengan baju batiknya yang rapih itu mengaku bernama Ahmad, sedang menunggu angkutan untuk menuju kota Mbay sejurusan dengan saya.

Dia bercerita, selain anak-anaknya yang berada di kampung tersebut ia juga mempunyai seorang anak laki-laki yang sedang berdinas di Jayapura sebagai Tentara Angkatan Darat. Anak itu pulang mudik kadang 3 tahun sekali, karena kondisi yang kurang memungkinkan. 

Setelah menghirup kopi yang disajikan, angkutan yang ia tunggupun datang. Beliau lalu pamit dan mengucapkan terimakasih karena saya sudah mampir, ujarnya. 





bike to pulau
Patung Bung Karno diabadikan di salah satu sudut taman perenungan di kota Ende.

bike to pulau
Sebagian barang-barang memorabilia BK disimpan di ruang belakang yang menghadap Taman.

bike to pulau
No comment.

bike to pulau


bike to pulau
Polisi Asyik.

bike to pulau
Didepan kantor Babinkamtibmas Borokanda, diabadikan oleh pelajar SD yang baru pulang sekolah.

Bersama Pak Ahmad yang hendak menuju Mbay.

     
Kopi yang diolah dari hasil kebun sendiri itu, membuat badan terasa segar lagi. Saat menanyakan harganya,  ia menolak dengan halus karena anda adalah tamunya Bapak, ujarnya. Namun tanpa sepengetahuannya selembar uang kertas saya selipkan dibawah pisinnya.
"Walaupun bertemu hanya sebentar, Pak Ahmad adalah orang tua yang baik, terlihat dari turtur katanya yang lembut. Beliau sempat memberi wejangan hidup kepada saya."
Udara terik terus menemani saya di siang itu, sesekali pohon kelapa menaungi jalan, sampai akhirnya merasakan perut yang mulai keroncongan. Saya pun berhenti di sebuah pondok makan di sebuah daerah di pinggir  pantai. Tempat itu bernama Batu Hijau yang tenang dan nyaman, ideal untuk beristirahat dan makan siang.  

Sepeda saya senderkan di Gazebo yang berada di tengah lokasi. Berhubung saya membawa nasi bungkus yang tadi dibekali oleh mas Heru, akhirnya saya hanya memesan jus Nanas dan air mineral saja ke penjaga warungnya. 

Tempat yang nyaman ini berada dideretan pantai wisata dengan batu-batu berwarna sebagai objeknya. Selain kawasan Batu Hijau, terdapat juga kawasan Batu Biru dimana ditempat-tempat tersebut terdapat pantai yang dipenuhi batu-batu kecil berwarna-warni, dibawa oleh gelombang yang mungkin berasal dari lava yang terdapat di bawah laut.

Ditempat ini saya sempat bertemu dengan beberapa orang, salah satunya adalah seorang manager pemasaran sebuah produk minuman terkenal di negeri ini yang sedang melakukan pemetaan wilayah. 

Beliau yang beribukan orang Cianjur itu kemudian memberikan referensi tempat menginap dibeberapa kota, salah satunya yang berada di kota Ruteng yang kemudian saya catat di buku kecil, untuk saya coba kunjungi nanti.

Setelah merasa cukup beristirahat, perjalanan saya lanjutkan dengan melewati daerah Nangaroro. Dari sini, jalan mulai mendaki berkelok-kelok, sebagai tanda memasuki kawasan pegunungan. Kebun-kebun yang ditumbuhi oleh pohon Kelapa, Kemiri dan Kokoa, nampak beberapa penduduk sedang membersihkan ranting-rantingnya. 

Hari semakin sore, ketika saya menemui perkampungan dengan beberapa kios, yang salah satunya dimiliki oleh orang dari Tapanuli. Di tempat ini terdapat simpang tiga, arah kanan menuju Mbay dan saya ambil ke kiri, ke arah Boawae. 

Mengantisipasi perjalanan malam, dimana tersisa 35 km lagi menuju Boawae, saya ambil lampu senter di dalam Frame Bag dan memasangnya ditempat yang sudah disiapkan di atas stang sepeda.

Beberapa kampung saya lewati ketika sinar matahari semakin temaram, binatang malam sudah mulai mengeluarkan suara-suara khasnya, saatnya saya menyalakan senter yang sudah terpasang, namun saat dihidupkan ternyata baterainya sudah agak sedikit lemah, sehingga sinarnya tidak begitu terang. Hal itu diakibatkan oleh penggunaan senter di malam hari saat beristirahat dibeberapa tempat, kala aliran listrik dari PLN sering putus.

Lampu senter yang saya bawa, selain bisa dicharge juga bisa memakai batu baterai biasa, sehingga sambil berjalan saya juga mencari warung untuk membeli baterai, namun warung yang saya cari belum kunjung ketemu. 

Saat jalan semakin gelap, tendengar suara dari belakang ada sepeda motor yang akan menyalip, sayapun mencoba untuk memberhentikannya dengan memberikan aba-aba, dengan harapan bisa berjalan berbarengan dengan memanfaatkan sinar lampunya, tapi motor tersebut tidak mau berhenti, hingga disatu kesempatan di jalan yang menurun, saya berhasil menyusulnya. Kemudian saya sampaikan maksud saya untuk meminta tolong menemani saya di perjalanan dengan memanfaatkan lampu motor tersebut.

Namun ternyata motor yang dikendarai oleh seorang PNS yang saya kenali dari seragamnya itu lampunya juga tak berfungsi, sehingga kenapa ia terburu-buru, karena iapun mengejar waktu supaya tidak kemalaman di jalan, katanya. Pantesan..

Hari semakin gelap ketika saya bertemu dengan beberapa penduduk yang baru pulang dari ladang yang berjalan tanpa membawa alat penerangan. 

Ketika sedang mengayuh di sebuah tikungan, saya mendengar lagi ada motor yang akan lewat, setelah saya tengok kebelakang ternyata ada lampunya, sehingga sayapun mencoba untuk memberhentikannya kembali.

Setelah saya beri aba-aba, motor tersebut akhirnya mau menurunkan kecepatannya dan menanyakan kenapa dan mau kemana, dengan intonasi yang sedikit janggal, setelah ditelisik ternyata suara tersebut datang dari sepasang waria yang hendak pulang ke Boawae sehabis bepergian dari Ende. 

Melihat gaya pakaian dan rambutnya yang dicat terang, sayapun hanya bertanya saja, tidak jadi meminta tolong. Akhirnya mereka pun pamit duluan dan meminta saya berhati-hati, tetap dengan intonasi khasnya itu.

Ini adalah pengalaman pertama saya mengayuh sepeda di kegelapan malam di pulau Flores, biasanya saya selalu sampai di kota tujuan dengan tidak pernah telat, namun karena medan di pesisir pantai yang panas, pendakian yang seolah tak ada habisnya di daerah Nagapanda, akhirnya pengalaman ini saya alami juga. 

Setelah menempuh perjalanan di tengah gelap malam, tanpa ada bintang apalagi bulan di langit, hanya ditemani oleh suara-suara binatang malam, akhirnya pukul. 20 saya sampai di sebuah kampung. Terlihat ada dua  buah  warung yang masih buka, sayapun berhenti di sebuah warung yang cukup lengkap dengan beberapa orang pemuda yang sedang nongkrong di terasnya. 

Akhirnya baterai yang saya cari tersedia di tempat ini, setelah dipasang dan dicoba, lampu pun bersinar terang kembali. Lega rasanya salah satu kelengkapan sudah berfungsi lagi. Selain membeli baterai, saya manfaatkan waktu untuk  beristirahat sambil menikmati minuman dingin yang saya ambil dari kulkas. 

Disela-sela istirahat, saya mencoba menggali informasi soal jarak tempuh menuju Boawae, dari para pemuda yang sedang nongkrong tersebut yang ternyata mereka sedang minum-minum Moke. Dari penuturan mereka bahwa kota yang dituju sudah tidak jauh lagi, namun harus melalui pendakian dahulu di pegunungan Abulobo yang berada di ketinggian 1100 mdpl, setelah itu menurun, ujar salah seorang pemuda itu.

Mendengar kata tak jauh lagi, sayapun bersemangat untuk segera kembali meneruskan perjalanan. Lampu senter  yang sudah berfungsi dengan baik, membantu saya menjalani rute ini menjadi lancar dan tidak terbata-bata lagi seperti sebelumnya. 

Medan yang mendaki seperti yang disampaikan para pemuda tadi ternyata tidak salah, bukit yang diselimuti oleh pohon-pohon besar itu sempat membuat ciut nyali, namun karena target sudah semakin mendekat, sepedapun saya kayuh terus.

Dengan bersusah payah, akhirnya saya merasakan sepertinya sudah berada di puncak pendakian , samar-samar saya melihat turunan yang tajam berkelok-kelok. Tak terlihat apakah ada jurang atau tidak, sepeda saya kayuh kencang walaupun diturunan. Sampai akhirnya saya bertemu dengan kampung dan berhenti di depan sebuah rumah yang ada lampu menggantung di teras depannya.

Berhenti bukan untuk istirahat melainkan untuk merasakan sesuatu yang sedikit aneh. Sebatang rokok saya ambil dari tempat penyimpanan dan kemudian membakarnya. 

Ketika yang punya rumah menengok keluar, saya minta izin untuk beristirahat sejenak disitu. Tapi beliau malah mempersilakan saya untuk masuk kerumahnya, namun saya sampaikan saya berhenti hanya sebentar saja.

Setelah sebatang rokok habis diisap, sepeda saya kayuh kembali melewati beberapa bukit lagi. Setengah jam kemudian, sampailah saya di sebuah penginapan yang dituju yang berada dipertigaan Boawae yang menuju Pasarabu. 

Sepeda saya parkirkan di garasi, saya ketuk rumah utama dari penginapan tersebut, namun yang punya rumah tak kunjung membukakan pintu, hingga akhirnya seorang wanita yang indekos di rumah tersebut muncul sehabis pulang dari tempat kerjanya di Bank diseberang rumah, yang kemudian memberitahukannya ke yang empunya rumah.

Setelah memastikan bahwa masih ada kamar yang kosong, saya pun melepaskan Pannier untuk dimasukan ke dalam kamar. Saat merasakan perut lapar, sayapun menanyakan dimana ada warung makan, kemudian mereka sampaikan bahwa warung makan yang dimaksud sudah tutup, karena sekarang sudah pukul 22, katanya.

Mungkin karena iba, akhirnya ibu itu berbaik hati dengan menyiapkan makan malam khusus untuk saya melalui pembantunya, yang juga sempat terjaga dari tidurnya. Sepiring Nasi putih dengan telur ceplok dadakan berhasil mengisi perut yang sudah keroncongan ini.

bike to pulau
Resort makan Batu Hijau.

bike to pulau
Santai setelah mengisi perut.

bike to pulau
Jalanan mulus dan sepi.

bike to pulau
Bunga liar di pinggir jalan.

bike to pulau
Anak Toba di pertigaan menuju Mbay.



Comments

Popular Posts