Pondok Peneduh.

bike to pulau


BOAWAE - BENA
1 Des 2017.


Hari pertama di bulan Desember ini, saya menuju kota Bajawa sebagai tujuan selanjutnya dengan jarak hanya 53km. Cuaca pagi ini cukup mendukung dimana kemarin hampir seharian Boawae diguyur hujan yang cukup deras. 

Setelah membayar semua tagihan, sayapun mulai mengayuh lagi di jalur Trans Flores ini. Jalanan di sekitar Boawae masih mendatar, namun berkelok-kelok. Beberapa kebun nampak ditumbuhi pepohonan seperti kemiri, asam, kayu manis, lontar, mahoni, sengon dll. 

Di salah satu sudut kampung, terlihat pesawahan yang sudah menguning, siap untuk dipanen.  Jalanan terasa sepi yang terdengar hanya sayup-sayup suara burung dan pohon-pohon yang bergesekan diterpa angin. Sesekali angkutan umum datang melintas.

Di saat sendirian seperti ini kadang saya butuh teman ngobrol, untuk itu kalau tidak menelepon keluarga di rumah, saya menelpon teman-teman. Satu-satunya alat hiburan berupa Speaker aktif yang saya bawa dari Bandung, hilang saat transit 2 hari di Bali.

Saat memasuki  perbatasan Golewa, jalanan mulai mendaki terjal dengan ladang penduduk di kiri-kanannya. Sebagian langit tertutup awan yang berarakan hal itu membantu saya menghadapi tanjakan-tanjakan keras sehingga tenaga tetap terjaga dengan baik. Berbeda dengan dua hari yang lalu saat menuju Boawae dimana matahari bersinar sangat terik membuat tenaga gampang terkuras.

Memasuki Malanuza jalan mulai mendatar, di sebelah kiri jalan nampak jajaran pohon Salak membatasi jalan dengan ladang penduduk.  Pasar tradisional nampak sepi mungkin karena bukan hari pasarnya, sementara di sebelah kanan terlihat gedung Sekolah Tinggi Kejuruan Ngada. 

Melihat ada warung makan, sayapun berhenti karena perut sudah minta diisi. Sepiring makan siang saya nikmati di warung sederhana ini. Selain saya, disitu ada juga beberapa mahasiswi dari Sekolah Tinggi tersebut yang sedang makan sepulang dari kampus sebelum pulang ke kamar kosnya yang terletak di perkampungan di belakang warung.

Selepas siang saya tinggalkan tempat itu. Kondisi jalan yang awalnya mendatar mulai mendaki lagi, sementara awan putih masih setia menemani saya. Menjelang Mataloko kabut mulai menjemput, jalanan dan pepohonan nampak basah, 

Saat tiba di jalan yang mendatar, terlihat sebuah bangunan besar dengan pagar bertembok disekelilingnya, setelah dekat, ternyata itu adalah Seminari Santo Yohanes Berkhmans yang terkenal itu. 

Seminari Santo Yohanes Berkhmans merupakan seminari yang khusus mendidik siswanya untuk menjadi calon imam Katolik. Nama Yohanes Berkhmans sendiri diambil dari nama seorang pemuda yang lahir di Kota Diest, Belgia pada 13 Maret 1599. Berkhmans adalah sosok teladan sebagai pelindung kaum muda, terutama bagi para calon imam.

Kompleks Seminari ini menempati lahan seluas 70 hektar dan berhawa sejuk. Kawasan tersebut menempati wilayah administratif Kelurahan Todabelu dan Desa Mataloko. Sehingga dikenal juga dengan sebutan Seminari Mataloko.

Diseberangnya berdiri Rumah Retreat Kemah Tabor, dimana gedung itu terlihat scenik dengan taman-tamannya yang terpelihara dengan baik. Gedung yang dibangun pada tahun 1932 ini, dulunya adalah tempat tinggal para misionaris yang mengajar di Seminari itu.  

Saat saya singgah terlihat beberapa anak muda sedang berfoto ria di tempat ini, sementara di halaman Gereja komplek Seminari sebuah grup paduan suara sedang melakukan shooting lagu daerah sambil menari, kegiatan itu terlihat di ulang-ulang mengikuti arahan sang sutradara.

Setelah mengambil gambar, saya tinggalkan tempat itu. Suasana sekitar masih terus berkabut, tak lama kemudian saya tiba di pertigaan Manulalu dimana terdapat papan petunjuk arah, kalau lurus akan menuju Bajawa sedangkan belok kiri yang keluar dari jalur trans flores akan menuju kampung Tradisional Bena.

Saat bertanya ke penduduk tentang berapa jauh lagi menuju Bajawa, ternyata masih 12 Km lagi, sementara kalau ke Bena tinggal 10km. Penasaran dengan keberadaan Kampung Bena sebagai salah satu perkampungan megalitikum yang namanya sudah mendunia selain Waerebo di daerah Ruteng, akhirnya sepeda saya belokan kesana.  

Jalan Kabupaten dengan lebar kurang dari 5 meter, tampak terpelihara dengan baik dimana aspalnya terlihat cukup mulus. 

Jalanan yang sepi menantang saya untuk melaluinya dengan cepat, karena khawatir kemalaman lagi seperti kemarin. Beberapa kampung saya lewati, medan yang menurun membuat sedikit tenaga yang keluar. 






bike to pulau
Nikmatnya bersepeda di jalan yang sepi nan mulus.

bike to pulau
Sebagian dari hasil bumi.

bike to pulau
Rumah retreat.

bike to pulau
Seminarinya berada di seberang jalan trans Flores.

bike to pulau
Taman yang terpelihara dengan baik.

Namun sebelum memasuki daerah Vila Manulalu, jalan  mendaki terjal, karena telat mengoper gigi akhirnya sepeda sempat berhenti di tengah jalan, sayapun harus mendorongnya untuk sampai ke puncak pendakian.

Vila Manulalu itu menjadi tanda bahwa tempat itu tak jauh lagi dari Bena. Vila yang berada di atas bukit dengan pemandangan indah ini, di salah satu sudutnya menampakan keberadaan gunung Inerie, gunung tertinggi di pulau Flores. 

Saat saya menanyakan jarak ke kampung Bena, petugas yang saya temui di depan gerbang itu menjawab sudah tidak jauh lagi, katanya. Penasaran dengan tarif di Vila tersebut, mereka menjawab termurahnya adalah 600rb/malam, hari ini tersisa 2 kamar lagi dari 12 kamar yang tersedia, yang lainnya habis diisi oleh tamu-tamu dari mancanegara, ujarnya.

Setelah mendapatkan info tersebut saya tinggalkan daerah Vila Manulalu. Jalan terus menurun dengan aspalnya yang sedikit mengelupas, tak lama kemudian saya melihat pucuk-pucuk rumah tradisional yang tertutup sedikit oleh kabut tipis yang ternyata itu adalah lokasi kampung Bena. 

Setelah bertanya kepada orang yang bersepeda motor, sayapun diantarkan ke salah satu rumah tradisional yang berada di dalam komplek tersebut yang ditinggali oleh pak Blasius. 

Pak Blas adalah Koordinator penginapan di kampung Bena ini, setiap tamu yang akan menginap harus menemui beliau dulu untuk tahu dimana tamu tersebut bisa tinggal. 

Karena menurut peraturan, tamu tidak bisa memilih di bangunan mana ia mau menginap, Pak Blas sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya menggilir rumah-rumah penduduk itu untuk ditempati tamu, sehingga azas keadilan berlaku di kampung ini.

Beliaupun mengecek ke beberapa rumah, dan ternyata beliau memutuskan bahwa di rumahnyalah saya bisa tinggal. Setelah mengetahui harganya, sayapun membongkar barang-barang yang masih berada di atas sepeda.  

Namun saya sedikit terkejut karena persediaan uang di dompet tidak mencukupi, untuk itu saya minta dicarikan Ojek untuk mengantarkan saya ke Bajawa guna mencari ATM, sekalian membeli beberapa barang kebutuhan.

Akhirnya setelah magrib salah seorang tetangganya bersedia mengantarkan saya ke Bajawa sejauh 10 km dengan motornya. Tak lama urusan di Bajawa selesai, kitapun bergegas pulang kembali ke kampung Bena.

Sesampainya di Bena, pak Blas beserta seluruh anggota keluarga sudah berkumpul di tengah rumah bersiap-siap untuk makan malam, akhirnya setelah membersihkan diri, sayapun ikut bergabung dengan mereka. 

Nasi putih dengan ikan bakar yang sambalnya terlihat menggiurkan, sudah tersaji didepan mata, akhirnya kitapun bersantap bersama, diselingi dengan pertanyaan-pertanyaan selama saya bersepeda di perjalanan.

Usai makan, kopi panas hasil kebunnya mereka sajikan. Dalam suasana santai pak Blas menceritakan kampung yang konon telah ada sejak 1200 tahun lalu pola kehidupan serta budaya masyarakatnya tidak banyak berubah hingga saat ini,  tetap memegang teguh adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang. 

Menurutnya, pada saat itu penduduk kampung ini meyakini keberadaan Yeta, Dewa yang bersinggasana di gunung Inerie, yang terletak di belakang kampung,  untuk selalu melindungi mereka. 

Di kampung ini terdapat 45 buah rumah yang saling mengelilingi. Bentuk kampungnya memanjang dari utara ke selatan dengan pintu masuk dari arah utara karena disebelah selatan merupakan puncak sekaligus tepi dari tebing terjal.

Ditengah-tengah kampung terdapat lapangan dan berdiri beberapa bangunan yang disebut Baga dan Ngadu. Bangunan Baga ini bentuknya mirip pondok kecil namun tidak dihuni. Sementara Ngadu berupa bangunan bertiang tunggal dan beratap serat ijuk bentuknya mirip pondok peneduh. 

Tiang Ngadu biasanya dari jenis kayu keras karena sekaligus berfungsi sebagai tiang gantungan untuk hewan kurban ketika pesta adat, seperti yang dilakukan saat pesta adat Reba yang biasa mereka lakukan di setiap akhir bulan Desember. 

Penduduk Bena terutama yang laki-laki bermata pencaharian sebagai peladang. Sementara yang perempuan selain peladang, juga sebagian menenun kain tradisional. Saat ini  mayoritas penduduk Bena adalah penganut agama katolik yang taat. 

Malam semakin larut ketika akhirnya kami menyudahi obrolan menarik tentang tempat ini, sayapun mengambil tempat istirahat di pojok ruangan, sementara yang lainnya berdempetan di tengah rumah. Walaupun badan ini sudah lelah namun mata ini ternyata sulit untuk dipejamkan. 

Berbagai posisi tidur saya coba hingga menimbulkan suara yang berderit-derit karena lantai rumah ini terbuat dari anyaman bambu.





bike to pulau


bike to pulau

bike to pulau
Sesaat setelah tiba di kampung Bena.

bena flores
Pak Blasius di sore itu.

bike to pulau

bike to pulau
bike to pulau


Comments

Popular Posts