Minta Restu.
BAJAWA - MBORONG
3 Des 2017 .
Hari
ini adalah hari ke 13 dalam perjalanan saya menjelajahi pulau Flores, sudah hampir 2
minggu saya meninggalkan
rumah, kalau tidak ada halangan, dalam seminggu kedepan perjalanan akan tuntas di Labuan Bajo.
Setelah menghabiskan
sarapan yang disiapkan oleh Marlin Geli, seorang perempuan yang baru lulus dari SMK
Pariwisata dan kemudian bekerja di homestay ini, saya mulai mengeluarkan perlengkapan
perjalanan dari kamar untuk kembali di pasang di sepeda.
Sambil menunggu makanan tercerna dengan baik, saya membuat kopi dan membuka lagi manual book terutama untuk elevasinya di etappe ini. Dari buku yang saya baca, kontur dari Bajawa menuju Mborong akan menurun panjang, datar kemudian menanjak dengan beberapa puncak pendakian. Selanjutnya menurun landai menuju finish di Mborong, perkiraan jarak tempuh sekitar 86 km.
Matahari sudah bersinar hangat dengan suhu udara disekitar 19 DC. Kota Bajawa sebagai ibukota Kab. Ngada, saya tinggalkan dengan kondisi jalan yang sepi menuju pertigaan trans Flores. Di simpang tersebut, sepeda saya arahkan ke arah kanan sesuai dengan petunjuk jalan yang ada, sementara
kalau kita ke kiri akan kembali lagi ke Boawae dan Ende.
Pertigaan
ini cukup ramai oleh angkutan kota yang sedang
antri menunggu penumpang, baik yang akan menuju Aimere maupun ke Boawae. Bentuk angkutannya ada yang berjenis minibus juga ada yang berbentuk Truk yang diisi dengan bangku-bangku kayu didalamnya
Medan mulai menurun, karena kota Bajawa berada
di tempat tertinggi di daerah pegunungan ini, kota pertama yang akan saya temui setelah ini adalah Aimere, sebuah kota kecil yang berada di pesisir pantai.
Jalanan terus menurun berkelok-kelok, beberapa diantaranya berbentuk hairpin yang membuat saya harus tetap berhati-hati, walaupun pemakai jalan di hari minggu ini sangat sedikit.
Ladang-ladang penduduk di kiri-kanan jalan dipenuhi dengan rumpun Bambu menjulang
tinggi, diselingi beberapa kebun Cengkih dan Kokoa. Komoditas tersebut menjadi salah satu andalan dari daerah ini.
Di kejauhan, puncak gunung Inerie, dimana kampung Bena
berada di kakinya, berdiri dengan gagahnya. Dalam sebuah legenda lokal, Inerie adalah istrinya Abulobo yang punya nama lain Amburombu. Sayangnya, mereka tidak akur satu sama lain. Di suatu pertengkaran, Inerie melemparkan sendok ke Abulobo hingga satu giginya tanggal. Itulah mengapa ada sedikit lekukan di bibir puncak Abulobo, gunung yang berada di wilayah Boawae itu.
Nun jauh di selatan, pantai Aimere dengan pelabuhan antar pulaunya, sudah mulai terlihat. Hanya dibutuhkan
waktu satu jam untuk mencapainya melewati beberapa lembah dengan pemandangan gunung yang berbentuk segitiga, khas pegunungan di Nusa Tenggara Timur.
Memasuki daerah pesisir, hawapun mulai terasa panas, sederetan pohon Lontar yang eksotis menjulang tinggi menyambut kedatangan saya di tempat ini. Warung2 sudah mulai bermunculan, mayoritas menjual buah-buahan.
Tak mau melewatkan kesempatan ini, sayapun menyempatkan diri untuk mampir di salah satu warung yang menjual kelapa dan mangga. Selain untuk menikmati buah, momen ini juga saya gunakan untuk beradaptasi lagi dengan hawa pantai yang mana sudah 3 hari berturut-turut saya mengarungi
daerah pegunungan.
Bapak
pemilik warung tengah menggendong balita, ketika saya berhenti di tempat
tersebut. Anak kecil tersebut ternyata adalah cucunya yang lahir di Tangerang, dimana bapaknya sampai sekarang masih
berada di kota itu untuk mencari nafkah.
Sedangkan mantu perempuannya yang
berasal dari Waingapu, sedang memasak di dapur rumah tak jauh dari tempatnya
berjualan.
Sambil
beristirahat, kami berbincang ringan diatas bale-bale yang ada disitu. Setelah sebuah Mangga Golek dan sebatang rokok habis, saya lanjutkan kembali perjalanan.
Kota Aimere nampak sederhana, Pelabuhan lautnya sepi karena hari ini tidak ada kapal
yang bersandar. Seminggu dua kali kapal Fery merapat di pelabuhan
tersebut, masing-masing dari Waingapu di pulau Sumba dan juga dari Kupang
di pulau Timor.
Menelusuri jalan di pesisir pantai yang dirimbuni oleh pohon kelapa juga diselingi pohon Mangga, membuat
perjalanan ini menyenangkan, beberapa buah mangga bergeletakan di pinggir jalan, mungkin tak sempat
dipetik oleh yang empunya.
Anak-anak masih kerap melontarkan
sapaan-sapaan bersahabat “Hallo mister…!!” Sebuah tempat penginapan tampak lengang dari tamu, terlihat dari tempat
parkirnya yang kosong.
Hari ini saya merencanakan makan siang di sebuah rumah makan di pinggir pantai, dimana pasir putih dan bangunannya yang
eksotis akan menjamu saya. Namun ternyata jalan yang sedikit keluar dari jalur trans
flores itu begitu buruk kondisinya.
Batu-batu besar yang menonjol dengan genangan air limpahan dari sawah, menutupi beberapa bagian jalan, membuat pannier saya beberapa kali terlepas dari dudukannya
dan rentan patah, sehingga berulang kali saya harus berhenti untuk memasangnya kembali.
Khawatir
dengan kondisi tersebut, akhirnya saya memutuskan untuk membatalkan makan siang
di tempat tersebut, karena saya tidak mau mengambil resiko dengan barang bawaan, bisa berabe kalau handlingnya salah, sementara perjalanan masih panjang.
Saya pun kembali ke jalur Trans Flores dan memilih makan di warung Padang saja yang tadi sempat dilewati. Rumah
makan sederhana ini dimiliki oleh pasangan muda asal Payakumbuh, mereka ini pernah membuka usahanya di
Pelabuhan Ratu Sukabumi sampai akhirnya berpindah ke tempat ini beberapa tahun yang lalu. Setelah
menyantap habis makanan yang tersedia, seperti biasa kopi pahit menjadi penutup dari ritual makan
siang tersebut.
Disaat
sedang menikmati kopi itu, tiba-tiba saya dicolek dari belakang, seorang pemuda
dengan topi hitam bertanya, "sepedanya kemana..!?" Dengan sedikit mengingat-ingat, ternyata orang
tersebut pernah bertemu saat kita beristirahat di sebuah tempat.
Setelah ia menyebutkan sebuah daerah perbukitan di sekitar Nangapanda Ende, saya baru ingat
bahwa pemuda tersebut adalah pegawai perusahaan rokok asal Kediri yang
bertugas sebagai supir mobil Canvaser. Dalam penuturannya ia tengah dalam perjalanan pulang
dari Ruteng menuju Ende menggunakan sepeda motor dan istirahat makan siang disitu seperti
juga saya.
Beliau
bercerita bahwa ia sedang memanfaatkan waktu liburnya ini untuk mengunjungi
saudara-saudara dan orang tuanya di Ruteng, khususnya Oomnya, untuk meminta
restu menikahi gadis pujaannya yang asli Ende.
Menuju Borong. |
Penjual buah di pintu masuk Aimere. |
Hari
semakin siang ketika saya meninggalkan tempat tersebut, jalanan yang semula
mendatar di pesisir Aimere, kini mulai mendaki menuju pegunungan di
kabupaten Manggarai Timur. Ladang penduduk membentang di kaki bukit, sebelum dipenuhi tanaman keras saat memasuki kawasan hutan tropis diatasnya.
Medan yang terus-menerus mendaki membuat tenaga sempat terkuras. Disebuah tikungan jalan yang sepi nampak beberapa buah mangga
tergeletak jatuh dari pohon, sayapun tergoda untuk berhenti dan mengambilnya.
Saat melihat seorang anak kecil sedang bersantai di pinggir jembatan dan mengaku bernama Yono dari nama aslinya Johanes, saya berhenti dan meminta tolong untuk
meminjam pisau, iapun segera berlari ke rumahnya yang berada di seberang jembatan tersebut.
Anak
SD yang bapaknya bekerja sebagai guru di salah satu SMP di kampung ini, terlihat senang ada tamu asing yang berhenti di dekatnya. Dari
perbincangannya ia bersekolah tak jauh dari kampung tersebut, cukup berjalan kaki 5 km saja, katanya.
Setelah
mangga yang terakhir habis dan mengembalikan pisaunya padanya, ia menawarkan diri
untuk mengambilkan gambar untuk saya melalui HP. Ternyata hasilnya
tidaklah mengecewakan, dimana saya diarahkan untuk berdiri di tengah jalan
dengan latar belakang hutan tropis dan rambu lalu lintas di salah satu
sudutnya.
Pendakian terus mewarnai jalur ini sebelum saya tiba di puncaknya, kemudian mulai
menurun dan memasuki daerah Waerana di
kec. Kotakomba.
Sejumput kabut tipis
menyambut saya di kota kecil dengan
ciri khas sebuah pohon Trembesi tua yang tumbuh di samping sebuah lapangan bola.
Tempat yang
biasa dipakai untuk kegiatan berolahraga masyarakat ini, saat itu diselimuti
rumput hijau. Terlihat beberapa anak-anak kecil sedang berlatih karate dibimbing oleh
seorang pemuda yang terus menerus memberikan aba-aba.
Disamping
lapangan, berdiri sebuah bangunan Gereja sederhana namun megah, membuat saya
tertarik untuk menyinggahinya sejenak. Tiga anak perempuan yang berdiri di pertigaan
terbirit-birit ketika melihat saya datang bersepeda, mungkin mereka kaget melihat
benda yang jarang dilihatnya.
Selain
menyediakan tempat ibadah yang berada di dalam ruangan, Gereja itu juga
menyediakan tempat di luar halaman, dimana Altarnya yang sederhana berada di
bawah pohon Karet besar, sementara tempat duduk untuk umat yang terbuat dari
tembok, tersusun rapi membentuk sebuah teater. Konon tempat ini dipakai pada saat hari-hari besar saja, bila ruangan yang di ada dalam tak bisa menampung animo umat yang datang.
Setelah
selesai mengambil gambar, saya mampir ke warung diseberang jalan untuk
menambah perbekalan air mineral, namun saya sedikit kaget ketika seorang pria yang
bertelanjang bulat tiba-tiba muncul dari dalam warung, ternyata orang
tersebut adalah adik sang pemilik.
Mencoba
menikmati suasana di sekitar warung dengan duduk di kursi yang tersedia. Seorang penduduk menemani saya dan terus menerus bertanya tentang
perjalanan saya, satu batang rokok saya habiskan di tempat itu. Diakhir
perbincangan, orang tersebut memohon maaf atas kekagetan saya saat pertama datang tadi.
Hari
beranjak sore, ketika saya tiba di jalan yang lurus mendatar dihiasi langit yang
menguning di langit barat. Suasana perkampungan besar mulai
terasa dan itu adalah pertanda pintu masuk kota Borong.
Beberapa tempat usaha semakin banyak terlihat. Pompa bensin dipenuhi oleh kendaraan yang mengantri panjang mengular, mungkin disebabkan oleh pasokan
BBM yang terbatas. Sementara disisi lain, saya melihat BBM botolan dijual bebas oleh penduduk
sekitar SPBU, dengan memajangnya di depan rumah.
Setelah
menanyakan tempat penginapan ke seorang Satpam yang sedang bertugas di sebuah
Bank Pemerintah, saya diarahkan untuk memasuki kota terlebih dahulu, nanti akan terlihat,
katanya. Beberapa penginapan sempat
saya lihat, namun akhirnya saya memilih di sebuah penginapan di
depan sebuah Hotel Besar yang belum dibuka, dengan harga 200rb dari penawarannya
yang 350rb.
Sebuah
kamar yang cukup luas dan ber AC, menjadi tempat saya beristirahat di kota itu.
Serangga-serangga kecil seperti kutu yang sedikit berbau busuk, menyerbu lampu
lobby penginapan pada saat itu, sehingga saya meminta kepada ibu yang
bertugas sebagai penerima tamu untuk menyemprot terlebih dahulu kamar yang akan saya tinggali di lantai 2
tersebut.
Setelah
sepeda saya amankan di gudang, air
di bak mandi berhasil membersihkan badan ini dari kotoran yang menempel sejak
siang hingga sore tadi. Sehabis Isya warung makan saya temukan setelah berjalan
kaki melewati kantor kecamatan Borong. Warung sederhana dengan beberapa pilihan
menu, menjadi tempat saya menghabiskan waktu di malam itu.
Comments
Post a Comment