KRIM PELEMBAB.
KOKA BEACH
26 Nov 2017.
Imbas dari hujan
deras yang turun semalam, bangun pagi di tengah hawa dingin membuat tubuh ini enggan
melepaskan sarung. Kamar sebelah yang berisi tamu dari Belanda juga belum ada suaranya hanya deburan ombak yang
terdengar keras.
Saya sengaja
sedikit bermalas-malasan karena hari ini memang berencana untuk istirahat dari
kegiatan bersepeda setelah melakukan 3 hari perjalanan yang cukup menguras
tenaga.
Suara burung Gagak yang bersahutan akhirnya membangkitkan
saya dari kasur empuk itu. Saat pintu kamar dibuka awan putih tampak memayungi
langit pantai Koka.
Mengetahui saya
sudah bangun, tuan rumah mengundang saya untuk menikmati kopi di warungnya, saya pun
bergegas turun dan ketika tiba di ruangan yang sederhana berdinding bambu dengan
dekorasi berbagai kulit kerang nampak sudah tersedia pisang goreng dan kopi hitam terhidang di meja utama.
Sambil sarapan kami berbincang
ringan tentang berbagai hal, dari erupsi gunung Agung yang berdampak pada pariwisata di pulau ini, hingga korupsi yang sering terjadi di negeri ini.
Penasaran dengan tempat ini, sayapun ijin berkeliling melihat pantai Koka secara keseluruhan. Pantai landai yang berpasir putih itu mempunyai dua teluk yang dipisahkan oleh bukit kecil
di tengahnya. Kondisi itu sering dimanfaatkan oleh pengunjung untuk
menikmati panorama indahnya dari atas ketinggian sambil berswafoto.
Untuk menuju bukit
tersebut pengunjung harus melalui tangga bambu terlebih dahulu sebelum kemudian
mendaki tanah berbatu dengan dikutip tiket masuk sebesar 5 ribu rupiah yang dikelola oleh desa.
Koka beach |
Salah satu tempat ombak muncrat |
Binatang laut yang tersisa ketika air laut surut. |
Dimanfaatkan oleh anak-anak untuk bermain. |
Setelah menuruni bukit, saya melihat dua anak kecil sedang mencari udang yang terjebak di dalam karang dan hasilnya mereka
masukan ke sebuah kantung plastik yang berisi air, saat saya tanya untuk apa, "untuk dimakan di rumah" katanya,
Di bibir pantai ini juga tumbuh beberapa pohon Ara dengan ciri khasnya bergetah di sekujur batangnya, hal tersebut diterangkan oleh Blasius saat dua orang tamu dari Belanda sedang sarapan yang tak lama kemudian pamit karena akan meneruskan
perjalanan ke Maumere dengan motor matic sewaannya.
Di hari Minggu itu
pengunjung mulai berdatangan setelah pukul 10.
Beberapa wisatawan lokal tampak datang berombongan dengan membawa bekal
masing-masing, walaupun ditempat itu tersedia beberapa warung dadakan yang berjualan
makanan dan minuman selain warungnya Blasius sendiri.
Hari libur bersepeda
ini saya sempatkan untuk mencuci pakaian kotor di area dekat sumur dan dijemur di sela-sela pohon singkong di halaman pondokan itu.
Selesai makan siang saya
manfaatkan untuk beristirahat lagi. Rencana untuk memindahkan data memori
Gopro ke Laptop urung dikerjakan, karena
memang tidak ada aliran listrik di daerah ini.
Langit yang
awalnya berwarna biru perlahan bersemburat kuning, saat dua anak perempuan kecil terlihat
bermain-main di pinggir pantai. Saya pun tergoda untuk menemaninya dengan
berenang menikmati hangatnya air laut di pantai selatan ini.
Air yang jernih
dan ombaknya yang tenang mampu memperlihatkan karang didasar laut di
sebagian pantainya, sayang saya tidak membawa masker untuk menyelaminya lebih dalam.
Beberapa nelayan tampak memulai aktivitasnya mencari ikan di sekitar karang pantai. Konon beberapa
biota laut akan keluar disaat matahari akan tenggelam sampai sekitar pkl.
19.00 saja, setelah itu ikan akan kembali ke sarangnya.
Nelayan yang
beruntung akan membawa ikan hasil tangkapannya ke pasar, sementara beberapa orang menawarkannya
langsung ke Blasius seperti yang sempat saya saksikan saat itu .
Selepas Magrib
saya meminta tolong untuk dicarikan tukang pijat. Walaupun tidak terbiasa namun
berharap hal tersebut bisa lebih melemaskan otot-otot betis yang masih terasa pegal. Ryan anaknya Blas, segera menjemput orang tersebut di kampung sebelah dan krim pelembab yang
saya bawa itu ternyata bermanfaat sebagai pelicinnya.
Makan malam dari hasil laut yang masih segar sungguh sesuatu yang istimewa di tempat ini. Isteri pak Blas
ditengah kesibukan mengurus salah satu anaknya yang masih balita, tetap sigap mengolah hasil laut itu di dapurnya yang sederhana.
Di malam kedua
ditempat ini saya melihat andai tempat yang eksotis ini dikembangkan dengan peran aktif pemerintah, banyak penduduk akan merasakan dampak ekonomi
yang jauh lebih baik. Karena esensi dari sebuat DTW adalah usaha bersama yang
bermanfaat untuk penduduk sekitar.
Sebelum tidur saya
sempatkan membereskan beberapa barang untuk dimasukan ke dalam Pannier karena
besok perjalanan akan dilanjutkan menuju Moni di dataran tinggi Kelimutu. Sementara di benak terus
berkecamuk tentang keberadaan tempat ini yang menyimpan banyak potensi.
Pemandangan dari arah pondokan. |
Pondokan sederhana yang saya diami selama 2 malam. |
Teras depan kamar. |
Kelambu yang sewaktu-waktu bisa dimanfaatkan. |
bike to pulau
Comments
Post a Comment